Pesan Religius dan Kritik Sosial
Pesan moral yang berwujud moral religius, termasuk di dalamnya yang bersifat keagamaan, dan kritik social banyak ditemukan dalam cerita fiksi atau dalam gendre sastra yang lain. Kedua hal tersebut merupakan “lahan” yang banyak memberikan inspirasi bagi para penulis khususnya penulis sastra Indonesia modern. Hal itu mungkin disebabkan banyaknya masalah kehidupan yang tidak sesuai dengan harapannya dan kemudian mereka mencoba menawarkan sesuatu yang diidealkan.
1. Pesan Religius dan Keagamaan
Kehadiran unsur religius dan keagamaan dalam sastra adalah satuan keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan, sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Pada awal mula segala sastra adalah religius (Mangunwijaya, 1982: 11). Istilah “religius” membawa konotasi pada makna agama. Religius dan agama memang erat kaitannya, berdampingan bahkan dapat melebur dalam kesatuan, namun seduanya menunjukkan pada makna yang berbeda.
Agama lebih menunjukan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hokum-hukum yang resmi. Religiositas, dipihak lain, melihat aspek yang dilubuk hati, triak getaran nurani pribadi, totalitas kedalaman pribadi manusia. Dengan demikian, religius bersifat mengatasi, lebih dalam, dan lebih luas dari agama yang tampak, formal, dan resmi (Mangunwijaya, 1982:11-12). Seorang religius adalah orang yang mencoba memahami dan menghayati hidup dan kehidupan ini lebih dari sekadar yang lahiriyah saja. Dia tidak terikat pada agama tertentu yang ada di dunia ini. Seorang penganut agama tertentu, Islam misalnya, idealnya sekaligus religius, namun tidak demikian kenyataannya. Banyak penganut agama tertentu, misalnya seperti yang terlihat dari KTP, namun sikap dan tingkah lakunya tidak religius. Moral religius menjunjung tinggi sifat-sifat manusiawi, hati nurani yang dalam, harkat dan martabat serta kebebasan pribadi yang dimiliki oleh manusia.
Tindakan yang memaksakan kehendak, apalagi dari pihak yang lebih berkuasa, apapun wujud kehendak itu adalah perbuatan yang tidak manusiawi, tidak religius. Kehendak yang dipaksakan itu yang jelas tidak sejalan dengan kehendak pihak yang dipaksa, menghilangkan kebebasan pribadi, menurunkan harkat kemanusiaan. Hal semacam ini sudah tampak dalam novel-novel Indonesia pada awal pertumbuhannya dalam wujud pemilihan jodoh. Walau oleh pengarang lebih ditekankan sebagai pesan kritik sosial, dalam gejala itu terkandung perjuangan menegakkan kebebasan manusiawi yang tidak lain adalah pesan moral religius.
Agama sebagai Keyakinan Penuh Tokoh. Novel di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal van Der Wijck (Hamka), tampaknya merupakan dua cerita fiksi Indonesia modern yang mulai memasukan unsur keagamaan (Islam) dalam sastra. Namun, agama di sana adalah agama sebagai keyakinan penuh para tokoh cerita, bukan (syariat) agama yang dipermasalahkan. Dengan kata lain, unsur agama itu sendiri tidak begitu berpengaruh pada konflik cerita. Konflik ceritanya sendiri masih berkisar pada adanya ketidakbebasan memilih jodoh, ada pihak yang memaksakan kehendak kepada pihak yang lain yang menyebabkan pihak itu menderita. Para penganut agama Islam pun ternyata masih terkecoh atau lebih melihat sesuatu yang bersifat lahiriah.
Tarik-menarik Religiositas dengan Formalisme Hukum Agama. Unsur agama dalam karya-karya Navis seperti dalam “Robohnya Surau Kami”, “Datangnya dan Perginya”, dan Kemarau, berbeda halnya dengan dua karya Hamka di atas, hadir untuk dipersoalkan. Unsur-unsur keagamaan dan religiositas dihadirkan secara koheren dalam cerita. Cerpen “Robohnya Surau Kami” menceritakan kehidupan seorang penunggu surau yang hanya beribadah melulu dan melupakan urusan dunia, yang akhirnya bunuh diri. Cerpen tersebut tampaknya ingin menyampaikan pesan keagamaan, bahwa kehidupan dunia akhirat haruslah sama-sama dijalani secara seimbang. Orang boleh saja, dan mestinya demikian, beribadah secara sungguh-sungguh dan selalu ingat kepada Tuhan, namun selama masih hidup di dunia, ia tidak akan dapat menghindari dari kebutuhan duniawi.
Pesan keagamaan juga terlihat pada novel Kemarau, namun terutama ditunjukan pada tingkah laku orang Islam dalam menjalankan syariat agamanya. Islam, dan juga agama-agama yang lain, tidak pernah mengajari pemeluknya dalam mengharapkan sesuatu hanya berdoa saja tanpa disertai usaha. Hal ini lah yang tampak di kritik Navis lewat Sutan Duano. Sutan Duano yang bekerja keras mengusung air untuk mengairi sawahnya, justru ditertawakan dan dianggap gila oleh orang-orang kampung yang rajin berdoa meminta hujan. Navis justru menertawakan orang-orang yang menertawakan Sutan Duano itu sebagai orang yang tidak menghayati dan memraktikan syariat agama secara benar.
Namun, yang lebih menarika adalah masalah religiositas dan keagamaan yang dihadirkan dan dipersoalkan dengan cerpen “Datangnnya dan Perginya” dan Novel Kemarau. Kedua cerita fiksi ini, cerpen dan novel, berangkat dari cerita yang sama. Novel Kemarau adalah versi panjang cerpen “Datang dan Perginya”. Tokoh utama menunjuk pada figur yang sama: Sang Ayah dan Sutan Duano. Tokoh itu menghadapi masalah yang sama, yaitu Masri, anak lelakinya, ternyata kawin dengan Arni, yang ternyata adalah adik lain ibu. Masri telah lama meninggalkan dirinya dan hidup di kota lain dan tidak pernah berkabar. Keduanya hidup berbahagia dan telah memberinya dua cucu, bahkan Arni sedang mengandung anak yang ketiga. Ia Sang Ayah dan Sutan Duano itu, menghadapi sebuah dilemma, yang pada hakikatnya adalah dilemma formalisme hukum agama dengan religiositas yang otentik (Mangunwijaya, 1982 :13), yaitu membiarkan atau memisahkan perkawinan anak-anaknya.
Navis pada “Datangnya dan Perginya” (1956) membiarkan pasangan Masri-Arni hidup bahagia, toh mereka tidak saling mengetahui. Sang ayah memang tidak sampai hati untuk memberitahunya, juga mantan istrinya, Ayah, ibu, Arni, karena sudah terlanjur. Ia tidak sampai hati merusak kebahagiaan itu, apalagi mereka darah dagingnya sendiri. Peristiwa itu terjadi juga bukan karena kesalahan mereka, melainkan kesalahan orang-orang tuanya. Hal ini merupakan ungkapan religius yang murni, dan orang tua memang seharusnya memiliki naluri keindukan bagi anak-anaknya. Kedua orang tua yang adalah mantan suami istri itu pasang badan mengambil alih tanggung jawab dosa kedua anaknya demi kebahagiaan keluarga anaknya.
Namun, Navis pada novel Kemarau (satu tahun berikutnya, novel itu terbit pertama 1957) ternyata berubah sikap dan keyakinan. Sutan Duano memilih memisahkan keduanya. Pernikahan itu tidak dibenarkan oleh hukum agama (Islam), dan itu merupakan hukum dengan kebenaran mutlak. Maka, apa pun yang terjadi jika itu melanggar kebenaran mutlak, harus diluruskan. Navis kini memenangkan formalisme hukum agama daripada kemurnian religiositas.
Dilema yang dihadapi Sang Ayah dan Sutan Duano pada hakikatnya adalah persoalan kita juga. Hal itu paling tidak dapat memaksa kita untuk merenung, merenungi masalah kehidupan yang kadang tidak terduga, dan mengambil hikmah darinya. Namun, dari segi kata hati manusia yang paling dalam, rasanya kita akan memihak pada keputusan tokoh Sang Ayah. Ia dapat berpikir secara lebih luas, dewasa, dan humanis daripada Sutan Duano.
Masih banyak film fiksi Indonesia yang lain mengangkat masalah religius dan keadamaan, misalnya Keluarga Permana, Kubah, dan cerpen-cerpen Danarto dalam Godlob. Belakangan juga muncul berbagai novel Islami terutana dengan pengarang Habiburrahman El Shirazy seperti Ayat-ayat Cinta, Dalam Mihrab Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, dan lain-lain yang amat populer. Selain itu, tampaknya juga perlu dicatat adanya novel “kontroversial” karya Muhidin M. Dahlan: Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur.
Perkawinan Dua Agama. Novel Keluarga Permana (Ramadhan KH) mengangkat masalah percintaan dua insan berbeda agama, Islam dan Katholik. Tidak seperti halnya dalam Kemarau, penekanan formalitas hukum agama di sini, yaitu oleh Permana terhadap anaknya, Farida, justru berakibat fatal.
Farida yang sudah terlanjur jatuh cinta kepada Sumarto, bahkan tengah mengandung bayi buah cintanya, oleh permana dipaksa untuk menggugurkannya. Tidak itu diambil karena ia tidak mau menanggung malu karena Farida hamil sebelum menikah. Namun, yang sebenarnya juga karena ia tidak dapat menerima Sumarto sebagai menantunya yang berbeda agama. Karena takut, Farida menurut kehendak ayahnya. Namun, cinta kepada Sunarto tidak dapat dihentikan. Maka, walaupun dengan berat hati dan merasa sangat kehilangan, Permana terpaksa mengabulkan permintaan anak satu-satunya itu untuk kawin dengan Sumarto. Demi cintanya, Farida rela murtad masuk agama calon suaminya. Namun, hanya satu minggu setelah perkawinan itu, Farida, yang masih dalam keadaan rapuh, jatuh di kamar mandi, dan akhirnya meninggal di rumah sakit. Sebelum meninggal, ia dibimbing membaca bacaan secara Islam oleh perawat yang tidak tahu bahwa Farida beragama Katholik. Farida dapat mengikuti dengan baik. Kini tinggal Permana dengan penyesalannya yang tidak berkesudahan.
Apa pesan moral novel tersebut? Yang jelas novel itu semacam “petuah” agar orang tua tidak begitu keras dan memaksakan kehendak kepada keluarga dan anaknya. Namun, bagaimanakah pesan yang terkait dengan perkawinan antaragama? Para pembaca dipersilakan menafsirkan sendiri. Ada ruang kosong di sanauntuk dapat diisi. Namun, tampaknya, bukan sebuah kebetulan jika tokoh Farida, pelaku kawin anragama dengan mengorbankan agama sendiri itu, akhirnya dimatikan ketika belum lagi memiliki keturunan.
Imbalan Perilaku Islami. Berbagai novel Islami karya El Shirazy berangkat dari keyakinan penuh agama Islam yang memang harus dijalankan dengan benar. Adanya berbagai godaan hidup di dunia yang amat menantang dan memberi kenikmatan hidup. Jika tidak sejalan dengan ajaran Islam harus dihindari. Itu harus menjadi prinsip hidup manusia muslim yang sungguhan muslimnya. Manusia harus melakukan sesuatu dengan didasari keyakinan bahwa itu tidak melanggar kaidah agama. Manusia tidak usah mengejar kemewahan dan kesenangan dunia, tetapi yang utama adalah perilaku menegakkan kebenaran agama. Maka, kelak, bahkan ketika seseorang itu masih hidup di dunia ini, Tuhan akan memberikan imbalan yang layak.
Itulah kira-kita karakter umum novel-novel El Shirazy. Para tokoh dibuat menderita terlebih dahulu, biasanya dengan difitnah, namun akhirnya semua terbongkar. Ibarat pepatah jawa: becik ketitik, ala ketara. Ungkapan itu bisa jadi tema sekaligus pesan. Keadilan puitis ditegakkan, dan pembaca ikut berbahagia untuk para tokoh. Para tokoh kita itu akhirnya menerima “imbalan” kenikmatan hidup di dunia dan sekaligus meneruskan kehidupan islamnya dengan semakin baik. Itu yang terjadi misalnya, pada tokoh Fahri dalam Ayat-ayat Cinta, Samsul Hadi Dalam Mihrab Cinta, atau juga Ahmad Zul dalam Mahkota Cinta. Unsur kebetulan sering terjadi dalam cerita fiksi: kebetulan yang membawa perubahan hidup yang signifikan. Unsur kebetulan dan kebetulan itulah yang juga terlihat dominan dalam novel-novel tersebut.
Fahri, seorang mahasiswa Indonesia yang miskin, berkuliah di Mesir, dan berprilaku amat islami. Ia mau bekerja keras dan mau membantu siapa saja yang membutuhkan. Ia mengalah kepada penumpang perempuan dan menyerahkan tempat duduknya ketika berada di bus yang panas di Kairo. Tak disangka perilakunya yang demikian itu dicatat oleh seorang perempuan bercadar sebagai perilaku yang mengagumkan. Apalagi Fahri terlihat bisa berbicara dalam behasa Jerman. Lengkap sudah ia sebagai laki-laki idaman ditengah dunia yang serba meragukan itu. Ketika fahri pun dijodohkan dengan perempuan bercadar itu oleh Sang Kiai, ia tidak menolak karena yakin akan pilihan gurunya. Ternyata perempuan itu bernama Maria Girgis, adalah seorang yang amat islami, cantik (Indo Turki-Jerman), dan kaya raya. Kehidupan Fahri berubah 180 derajat: dari serba berkekurangan menjadi serba berkecukupan dan semakin menyukuri anugerah Tuhan.
Samsul Hadi, seorang santri yang baik difitnah mencuri, dikeluarkan dari pondok pesantren, hidup terlunta di Semarang sebelum akhirnya terdampar di Jakarta. Secara kebetulan ia mencopet dompet seorang mahasiswi cantik yang kebetulan pacar lelaki yang memfitnahnya di pesantrn, dijadikan guru mengaji adik perempuan itu, dijadikan imam masjid, disuruh mengisi acara di televisi, dan lain-lain yang tampak “sudah diatur” oleh Tuhan. Karena pintar mengaji dan berprilaku terpuji, Samsul Hadi akhirnya dijodohkan dengan perempuan cantik itu, yang bernama Silvie, dan sekaligus sebagai balas dendam kepada kawan sepesantren yang memfitnahnya. Jelas Samsul Hadi hidup dengan bahagia dengan istri cantik dan kaya.
Keadaan yang bersubtansikan hal yang kurang lebih tidak berbeda juga ditentukan dalam novel Mahkota Cinta. Tokoh Ahmad Zul yang terlunta mencari kerja di negara jiran secara kebetulan bertemu dengan Siti Martini, menyelamatkan perempuan itu dari pemerkosaan, tekun berkuliah sambil bekerja seadanya, jadi dosen, dan akhirnya dapat jodoh dosen juga, yang ternyata adalah perempuan yang pernah secara kebetulan ditolongnya itu yang diam-diam juga sambil kuliah di Malaysia. Keadilan puitis lagi-lagi ditegakkan. Pembaca merasa berbahagia untuk tokoh-tokoh yang berhak menerima “imbalan” itu.
Apa pesan moral novel-novel itu semua? Pembaca dipersilakan menemukan sendiri. Di sana juga ada ruang-ruang kosong yang minta diisi. Yang jelas tersurat adalah bahwa perilaku islami akan membawa berkah kepada para pelakunya. Novel-novel tersebut juga mengandung ajaran, petuah, dan contoh perilaku islami lewat para tokoh cerita. Namun, semudah itukah hidup di dunia ini walau di cerita itu semula terlihat berat bagi tokoh? Apakah unsur kebetulan-kebetulan itu tidak tampak dilebih-lebihkan walau fiksi sering mengandung unsur-unsur pelebih-lebihan? Ataukah karena itu semua “hanya” novel yang berfungsi menghibur pembaca untuk sekadar melepakan sejenak kesulitan hidup yang serba sulit? Lagi-lagi di sana ada ruang kosong yang minta diisi sendiri oleh pembaca yang budiman dan kritis.
Menantang Tuhan. Kehadiran novel Tuhan. Izinkan Aku Menjadi Pelacur! (2003, Muhidin M. Dahlan) cukup mengejutkan dan kontroversial. Ada subjudul di bawah yang berbunyi; Memoar Luka Seorang Muslimah. Novel ini mengejutkan dan menjadi kontroversial karena mengangkat seorang tokoh perempuan, Nidah Kirani, yang semula berprilaku amat islami berubah sikap menjadi terang-terangan menantang Tuhan lewat dosa-dosa yang diperbuatnya. Di tengah jalan, kehidupan islamis dan sufistik Nidah dikecewakan oleh berbagai masalah yang menerpa nalar kritis dan imannya. Setiap kali ia mengajukan pertanyaan kepada siapa yang dianggap bisa memberikan penjelasan, jawaban yang diperolehnya selalu mengecewakan. Tuhan yang diharapkan dapat memberikan penerangan hati dan nalarnya, ternyata juga tidak dapat diharapkan.
Novel menjadi kontroversial dan mengejutkan karena belum pernah ada novel yang berani seterang-terang ini menampilkan tokoh menantang Tuhan lewat dosa-dosanya. Itu betul-betul melawan arus. Ketika El Shirazy tampil dengan novel-novel dakwah dan pencerahan jiwa lewat kata dan prilaku tokoh yang betul-betul islami dengan menempatkan Tuhan pada posisi yang tertawar, sekaligus “imbalan” bagi para tokoh yang berprilaku teladan, Muhidin tampil dengan novel yang justru bersikap antipati terhadap semuanya. Jika orang berbuat dosa lazimnya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan masih takut kepada Tuhan, tidak demikian dengan Nidah Kirani. Semua dilakuakan dengan sadar, dijalani, diakui, dan dilakukan sambil menantang Tuhan agar diperhatiakn dan dihukum. Benar-benar luar biasa!
Novel itu sendiri diakui oleh pengarang sebagai cerita fiksi, namun “bahan baku”-nya nyata. Tokoh Nidah Kirani adalah figur nyata. Persoalannya adalah ketika kita bicara tentang aspek moral, pesan apa yang ingin disampaikan lewat novel dan atau tokoh kontroversial ini? Semula, Nidah adalah seorang muslimah yang waktu-waktunya dihabiskan hanya untuk aktivitas islami, namun kemudian berubah. Mengapa begitu mudah dia berubah? Jika keimanan itu betul-betul sampai kedasar hati, semudah itukah seseorang berubah, apalagi terang-terangan memberontak dan melawan Tuhan? Bukankah Tuhan akan membiarkan manusia berprilaku kufur atau yang sesuai ajaran islami yang telah diwahyukan? Pembaca yang peka dan kritis tampaknya juga tidak akan semudah Nidah Kirani untuk dikecewakan oleh Tuhan. Namun, agar tidak mudah diombang-ambingkan nalar dan keimanannya, apa yang harus dimiliki?
Novel ini sebenarnya syarat kritik, kritik terhadap prilaku sikap, cara berpikir, dan perbuatan orang seperti Nidah Kirani, dan kritik terhadap perilaku munafik yang menelanjangi dan ditelanjangi oleh Nidah. Sebenarnya, hal yang tidak terlalu berbeda pernah ditemukan dalam novel Burung-burung Manyar yang juga mengejutkan pembaca waktu itu dengan memasang tokoh hero yang anti republik. Apakah novel-novel yang demikian bukan sekadar mencari cara pengucapan lain agar dapat diserap oleh indera kita secara lain pula. Bukankah itu merupakan sebuah prinsip kesastraan yang bernama deotomatisasi, mencoba keluar dari cara-cara yang rutin, sebagaimana diteorikan oleh Kaum Formalis Rusia?
2. Pesan Kritik Sosial
Hampir semua novel Indonesia sejak awal pertumbuhannya hingga dewasa ini mengandung unsur pesan kritik sosial walau dengan tingkat intensitas yang tidak sama. Wujud kehidupan sosial yang di kritik dapat bermacam-macam seluas lingkup kehidupan sosial itu sendiri. Banyak karya sastra tinggi yang di dalamnnya mengandung unsur pesan kritik sosial. Namun, perlu dicatat bahwa karya-karya itu menjadi bernilai bukan lantaran pesan itu, melainkan lebih ditentukan koherensi semua unsur instrinsiknya. Pesan moral hanya merupakan salah satu unsur pembangun cerita fiksi saja. Bahkan, sebenarnya unsur pesan itu tidak mungkin terlihat dipaksakan dalam teks kesastraan yang baik walaupun unsur pesan itu merupakan motif penulisan karya yang bersangkutan. Selain itu, pesan moral juga, terutama yang terwujud kritik sosial, dapat memengaruhi aktualisasi sebuah karya sastra.
Wujud kritik sosial novel-novel Angkatan Balai Pustaka misalnya, lebih banyak berkaitan dengan adat-istiadat dan dominasi golongan tua yang “tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan”. Itu terutama terlihat pada dalam hal mengatur dan menentukan jodoh untuk anak-anak muda. Masalah itu memang aktual pada waktu itu, namun tidak lagi untuk masa sekarang. Ada berbagai aspek sosial yang lebih menarik, aktual, dan relevan untuk diceritakan dan diamanatkan sesuai dengan derap kehidupan modern, dan bukan sekadar masalah jodoh saja. Namun demikian, sebenarnya terhadap berbagai aspek kehidupan sosial yang hakiki, dan itu bersifat langgeng dan universal, tidak hanya berlaku dan tidak terkait oleh batas waktu dan tempat.
Sastra yang mengandung pesan kritik (sastra kritik) biasanya akan hadir ditengah masyarakat jika terjadi hal-hal yang dirasakan kurang beres. Paling tidak, hal itu ada dalam penglihatan dan dapat dirasakan oleh pengarang yang peka membaca situasi, yang dengan kekuatan imajinasinya, boleh dikatakan, sebagai orang yang memiliki indera keenam. Pengarang pun umumnya tampil sebagai pembela kebenaran dan keadilan yang menyuarakan hak-hak kemanusiaan. Mereka tidak akan diam melihat ketidakadilan dan lewat karyannya itu memperjuangkan hal-hal yang diyakini kebenarannya. Hasilnya adalah sastra yang syarat pesan kritik sosial.
Hal-hal yang memang salah dan bertentangan dengan sifat-sifat kemanusiaan tidak akan ditutup-tutupi karena terhadap nilai seni pengarang hanya bertangung jawab terhadap dirinya. Sebaliknya, jika seorang pengarang menerima paksaan dari luar, dalam arti menulis tidak yang sesuai dengan keyakinannya dan itupun tidak benar, itu hanya akan menghasilkan karya seni yang rendah. Misalnya, sastra yang hanya dipakai sekadar ajang main politik-politikan seperti pada zaman Lekra/PKI. Menulis sebentuk sebentuk karya yang tidak didukung oleh unsur gagasan yang tidak sesuai dengan keyakinan sendiri, atau diketahui palsu, adalah omong kosong. Jika demikian keadaannya, itu juga berarti bahwa pengarang telah membohongi diri sendiri.
Dalam jajaran sastra Indonesia modern, khususnya dalam cerita fiksi, Mochtar Lubis dikenal sebagai pengarang yang banyak menulis sastra kritik, misalnya lewat novel-novel Senja di Jakarta, Tak Ada Esok, Tanah Gersang, Maut dan Cinta, dan Harimau! Harimau, yang banyak mengungkap masalah korupsi dan berbagai tindak penyelewengan.
Banyak karya sastra, jadi tidak hanya fiksi saja, yang memperjuangkan nasib rakyat kecil yang menderita, nasib rakyat kecil yang memang perlu dibela, rakyat kecil yang seperti dipermainkan oleh tangan-tangan kekuasaan, kekasaan yang kini lebih beupa kekuatan ekonomi. Berbagai penderitaan rakyat diantara lain berupa menjadi korban kesewenangan, penggusuran, penipuan, atau yang selalu dipandang, diperlakukan, dan diputuskan sebagai pihak yang selalu di bawah, kalah, dan dikalahkan. Namun, apakah dengan adanya berbagai bentuk pembelaan yang dilakukan oleh pengarang lewat karya-karya kreatifnya itu nasib rakyat menjadi lebih baik, atau pihak lain yang di kritik menjadi menyadari kekeliruannya, itu adalah masalah lain. Paling tidak mereka, para pengarang itu, telah terasa terlibat dengan nasib rakyat dan itu pantas menjadi bahan perenungan kita. Bahkan, Jhon Kennedy, yang presiden Amerika itu mengatakan: jika para dirjen salah, yang mengingatkan adalah menteri; jika para menteri salah, yang mengingatkan adalah presiden; dan jika presiden salah, yang mengingatkan adalah puisi.